Untuk Kamu

Untuk kamu yang tidak lagi dapat mendengarkan aku menyampaikan semuanya secara langsung.

Ada banyak sekali hal yang ingin ku sampaikan padamu, namun nampaknya sangat sulit untuk menyampaikannya secara langsung. Kita telah berpisah dan telah menjalani hidup masing-masing tanpa lagi berkomunikasi satu sama lain.

Aku tidak tahu, apakah kamu akan membaca ini atau tidak, besar kemungkinan kamu tidak akan membaca ini. Aku sengaja menuliskan ini di blog; karena aku tidak lagi ingin mengganggu hidupmu. Mengirimkan tulisan melalui surel, nampaknya bukan hal yang bijak, mengingat kita sudah berpisah—selama tiga tahun, tanpa ada sepatah kata lagi terucap.

Aku hanya ingin menuliskan semua hal-hal yang tidak dapat secara langsung aku sampaikan lagi padamu. Harapanku, diriku dapat menemukan suatu kedamaian setelah ku tuliskan ini semua—tanpa perlu kamu mengetahuinya.

Sudah tiga tahun kita berpisah, selama tiga tahun terakhir aku telah belajar untuk menerima proses  yang menyakitkan—bahkan hingga saat ini. Aku memilih mengakhiri hubungan yang dulu; bukan karena aku berhenti mencintai kamu atau tidak ada lagi rasa sayang yang tersisa—aku memilih mengakhirinya karena aku merasa perasaan, usaha, dan hal lainnya tidak sepenuhnya resiprokal. Butuh waktu satu tahun untuk aku bisa merelakan semua yang harus terjadi di masa lalu. Butuh waktu dua tahun untuk aku akhirnya menerima kegagalan hubungan kita. Aku sadari, kegagalan itu tidak hanya terjadi karena satu pihak; it takes two to tango—hubungan yang gagal itu terjadi karena kita gagal.

Untuk kamu yang tidak lagi dapat mendengarkan aku,

Aku terpukul dan hancur, saat mendapat kabar ayahmu telah pergi untuk selamanya. Aku menangisi duka yang sebenarnya tidak lagi menjadi bagian dari diriku. Aku sedih atas kepergian ayahmu, aku bersedih memikirkan seberapa hancurnya dirimu. Hal lain yang membuatku hancur adalah mengetahui bahwa kamu telah sepenuhnya menghapus diriku dalam hidupmu. Kabar mengenai ayahmu, sampai ke telingaku melalui orang lain, bukan darimu. Aku tersentak, tertampar kenyataan bahwa apa yang aku lakukan selama ini, mencoba melupakanmu, pada akhirnya berbalik menusuk diriku. Kamu telah sepenuhnya melupakanku.

Aku merasa bodoh, mengapa hal tersebut baru aku rasakan. Aku merasa sia-sia, karena selama ini masih menunggu dan berharap kamu akan kembali, berharap bahwa kamu akan berusaha, sungguh aku bodoh mengharapkan hal itu terjadi.

Untuk kamu dan sepasang mata yang tidak dapat lagi aku tatap,

Alasan aku memilih untuk tidak lagi mau menemuimu, membalas pesan-pesanmu, bahkan melihat bayanganmu semenjak kita berpisah adalah karena aku bukan pembohong yang lihai. Bahkan hingga saat ini, setelah tiga tahun berlalu, air mata masih menetes di pipi setiap aku teringat dirimu. Aku bukan pembohong yang lihai, jika aku menatap matamu, melihat wajahmu, kamu pasti akan tahu bahwa aku masih mencintai kamu. Aku tidak dapat menyembunyikan itu, itulah mengapa aku memilih untuk pergi dan memutus semuanya. 

Alasan mengapa aku tidak mau membalas pesan-pesanmu, karena aku sungguh tidak memahami maksud dan tujuanmu. Terakhir kita berkomunikasi; meninggalkan luka mendalam; bagaimana kau sampaikan bahwa kamu dapat dengan mudah mencari orang lain. Iya, setiap kata dan tuduhan darimu itu, bagai pedang tajam yang menghunus jantungku. Aku menerimanya dalam diam, membawanya dalam doa, dan menangisinya selama tiga tahun terakhir. Bagaimana tidak, seseorang yang aku cintai begitu mendalam, mengatakan hal-hal yang menurutku tidak sepenuhnya tepat. Sejak aku mendengar bahwa kamu sudah bersama orang lain—beberapa bulan setelah kita berpisah—aku camkan pada diriku; semua sudah berakhir, dia sudah memilih orang lain, ternyata benar aku tiada artinya.

Mengapa aku tidak membalas pesanmu? Karena aku tidak butuh isi pesan yang berisi memori masa lalu; aku berharap kesungguhanmu, usahamu, untuk memperjuangkan kembali perasaan yang pernah ada—nyatanya itu harapan semu belaka. Aku terlalu naif, mengharapkan itu semua terjadi. Saat kamu berhenti, akhirnya aku mengerti, kamu sudah tidak lagi ingin memperjuangkanku. 

Untuk kamu yang tidak dapat lagi aku dengarkan ceritanya,

Lantas mengapa aku tidak berusaha memperjuangkanmu? Saat aku dengar kamu bersama orang lain, aku tidak ingin lagi mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak ingin mengganggu hubunganmu dengan orang lain. 

Aku memilih menunggu dirimu yang datang kembali; namun nyatanya diamku justru memberikan kejelasan bagimu bahwa aku tidak lagi menginginkanmu. Padahal aku menunggu dan menunggu dirimu kembali untuk membuktikan kesungguhanmu, sungguh hal yang bodoh sekali, menanti sesuatu yang jelas tidak mungkin terjadi.

Untuk kamu yang tidak dapat lagi aku dekap dalam gelapnya malam,

Tiga tahun berlalu, aku belajar bahwa yang terjadi memang harus terjadi, bahwa hubungan kita harus berakhir. Satu yang masih menyiksaku, ketika aku menerima semua, ketika tidak ada lagi amarah tersisa, mengapa yang tertinggal adalah seluruh perasaan yang sama seperti saat aku menyatakan perasaanku padamu? Ya, bahkan hingga detik ini, aku masih memiliki perasaan yang sama, yang tidak pernah berubah, aku masih mencintaimu. 

Sarung bantal jadi saksi, basah karena air mata, setiap aku teringat memori baik maupun buruk yang dulu pernah kita lewati bersama. Aku berlutut, berdoa, dan bertanya pada Tuhan, “Tuhan, sampai kapan aku harus begini? Aku sudah menerima semuanya, aku sudah berupaya untuk mengikhlaskannya, aku terima bahwa memang bukan dia yang Tuhan kirimkan. Aku pun tidak masalah Tuhan jika harus sendiri seumur hidupku, aku terima. Tapi tolong Tuhan, tolong bantu aku, bisa kah Tuhan buat aku lupa? Bisa kah Tuhan hapus semua memori tentang dia? Bisa kah Tuhan hapus semua perasaan yang masih ada untuk dia? Karena aku sudah tidak bisa apa-apa lagi, Tuhan, sudah tidak bisa.”

Entah apa yang Tuhan pikirkan saat mendengarkan doaku, bisa jadi Tuhan tertawa, bisa saja Tuhan geleng-geleng, atau Tuhan bingung bagaimana caranya membuat hamba-Nya melupakan sesuatu.

Tidak ada jawaban dari Tuhan sejauh ini, hanya perasaan yang sedikit lebih tenang setiap aku berdoa. Lucunya, Tuhan selalu mengirimkan orang-orang terdekat saat aku menangis, entah mengapa selalu terdengar notifikasi berisi pesan dari mereka. Tak jarang, aku menatap langit-langit dan bertanya, apakah Tuhan yang mengirimkan mereka.

Untuk kamu yang tidak lagi dapat aku rasakan peluknya,

Aku minta maaf, untuk semua rasa sakit yang harus kamu lewati karena aku. 

Aku minta maaf, jika dulu kamu merasa tidak dapat sepenuhnya menjadi diri sendiri saat kita bersama.

Aku minta maaf untuk semua kesalahan yang aku lakukan di masa lalu.

Aku minta maaf karena hingga saat ini masih menyimpan sendiri perasaan yang masih ada untuk kamu.

Tentu aku sadari, bahwa perasaanku adalah tanggung jawabku. Perasaanku yang masih ada untukmu tentu merupakan ranah yang tidak lagi perlu kamu tanggapi. 

Untuk kamu yang selalu menjadi pilihanku,

Tiga tahun berlalu, tentu kamu sudah melalui banyak hal. Aku berharap tentu kamu menemukan kebahagiaanmu, menjalani hidup yang sepenuhnya kamu inginkan. Aku sadari, saat kita bersama tidak banyak yang bisa aku berikan untukmu melalui relasi yang pernah kita miliki.

Apakah kamu masih ingat pertama kali kita menghabiskan hari kasih sayang bersama? Mungkin karena kemarin hari kasih sayang, aku teringat akan banyak hal yang pernah kita lalui. Mungkin karena itu juga, aku putuskan menuliskan semuanya—hanya untuk membuat lega perasaanku.

Aku tidak tahu, bagaimana ke depan hidupku akan berjalan, yang pasti aku tidak ingin hidup dalam penyesalan karena menyimpan sendiri hal yang seandainya ku sampaikan. Aku tidak tahu, apakah tulisan ini pun akan sampai kepadamu atau tidak, atau sampai kepadamu dalam waktu yang tidak pernah dapat kita duga. 

Aku harap, jika tulisan ini sampai padamu, kapanpun itu, dalam kondisi apapun itu, aku hanya ingin kamu tahu aku masih mencintai kamu dan akan selalu mencintai kamu—meski kita tidak bersama lagi. Entah hingga kapan, aku pun masih belum tahu, mungkin hingga tiba waktunya untuk merasakan jatuh cinta lagi tapi aku pun ragu mengenai hal itu. Aku tidak tahu, apakah aku dapat jatuh cinta lagi, karena selama ini, hanya kamu yang aku mau.

Terima kasih sudah memberikan kasih sayang dan juga cinta yang meski tidak lama dan tidak selalu cerita yang kita miliki itu indah, kamu telah menunjukkan padaku bagaimana rasanya dicintai. 

Untuk kamu yang dulu pernah bilang, kalau suatu hubungan itu berakhir, ya bisa jadi memang tidak cocok atau bukan jodohnya,

mungkin kamu benar.

Mungkin waktu itu, kita belum berjodoh, mungkin kita tidak pernah berjodoh—kita hanya harus berada dalam rentang waktu yang singkat di dalam lini masa kehidupan kita masing-masing. Aku tidak pernah menyangka, begitu dalam kamu meninggalkan jejak dalam hidupku. Aku tidak menyadari, bahwa aku tidak pernah mampu menghapus dirimu dari hidupku.

Mungkin benar kita tidak pernah berjodoh di kehidupan ini, namun jika aku diberikan kesempatan untuk bertemu dirimu lagi di kehidupan lain—aku akan memilihmu lagi dan akan berusaha untuk tidak gagal lagi.

Pun masih ada kesempatan di kehidupan sekarang, aku hanya ingin menyampaikan padamu bahwa aku masih mencintaimu tapi aku tidak akan memaksakan kehendak—jika memang kita tidak pernah ditakdirkan bersatu.

Dari aku, yang hanya ingin kamu tahu; bahwa cuma kamu, yang aku mau.

Selamat hari Minggu

Selamat hari Minggu,

Semoga kamu baik-baik saja di tengah situasi yang mengerikan.

Semalam aku memimpikanmu, jujur saja, aku selalu memimpikanmu.

Sejak kita berpisah, aku berpikir semuanya itu demi kebaikan.

Selama aku kembali sendiri, aku tidak tahu lagi apa yang aku mau.

Hanya kamu yang aku mau,

kalau bukan kamu,

aku tidak tahu lagi apa yang aku mau.

Jakarta, 18 Juli 2021

Di hari Minggu kesekian yang terlewati tanpa mengucapkan “Selamat hari Minggu” kepadamu.

flux.

Apa kabar, wor(l)d?

Lama sekali tidak menulis di blog ini sampai merasa terasing.

Saat ini saya sedang menunggu hujan reda, mengingat Jakarta saat hujan itu akan mengubah jalanan menjadi simulasi neraka. Lucu ya menunggu sesuatu yang tidak pasti? Iya kan? Memangnya kita pernah tahu kapan hujan akan berhenti? Jawabannya jelas bukan? Kita tidak pernah tahu. Perkara hujan dan hal-hal yang tidak pasti lainnya akan selalu memiliki jawaban yang sama: tidak pernah tahu kapan akhirnya.

Mengapa hal yang tidak pasti itu tidak pernah kita ketahui akhirnya?

Sama dengan pertanyaan apa batas akhir dari suatu batasan?

Apa yang pasti dari ketidakpastian?

Sangat lucu bagaimana kita terus mencari suatu kepastian akan ketidakpastian padahal dunia ini penuh dengan perubahan. Apa yang pasti dari perubahan? Apa yang tetap dari perubahan? Jawabannya jelas: perubahan itu sendiri.

Tapi mengapa suatu ketidakjelasan selalu berujung pada penjelasan?

Apakah setiap penjelasan selalu menyelesaikan setiap ketidakjelasan?

Adakah jawaban pasti dari pertanyaan-pertanyaan di atas?

Saya mencoba untuk memahami bahwa pada akhirnya dunia ini merupakan rangkaian perubahan yang tiada henti. Semuanya berubah dan yang pasti di dunia ini hanyalah perubahan itu sendiri. Bagaimana dengan kematian? Bukankah kematian suatu hal yang juga pasti? Bukankah kematian merupakan bagian dari perubahan? Perubahan dari yang hidup menjadi tidak hidup lagi. Semua berubah, berubah semua, itulah dunia yang kita tempati sekarang ini. Satu yang menjengkelkan saya dari perubahan adalah bagaimana orang lain mengubah sikapnya pada kita; begitu juga sebaliknya. Hal yang sulit bukan? Menerima perubahan terjadi dalam hidup kita.

Herakleitos, merupakan seorang filsuf Yunani yang terkenal dengan pemikirannya mengenai perubahan. “

Baca lebih lanjut